Kecewa Tidak Bisa Masuk Sekolah Favorit karena Sistem Zonasi, Siswa Berprestasi Bakar Belasan Piagam dan Pialanya
Sabtu, 29 Juni 2019
Edit
Seorang siswa lulusan SD yang sarat prestasi di Kota Pekalongan, Jawa Tengah (Jateng), nekat membakar belasan piagam penghargaan atas prestasi yang pernah diraihnya selama ini. Aksi itu bahkan direkam, lantas diunggah ke media sosial sehingga mendapat banyak perhatian dari berbagai pihak.
Aksi siswa yang dipanggil dengan Yun (12), warga Perumahan Gandarum Kajen, Kabupaten Pekalongan, itu dipicu kemarahan dan kekesalannya. Dia tidak menyangka setelah lulus SD, dia tidak diterima di SMP impiannya, yaitu SMP Negeri I Kajen, Kabupaten Pekalongan.
Ayah Yun membenarkan aksi putranya karena rasa kecewa yang mendalam. Bahkan, anaknya nekat membakar sekitar 15 piagam penghargaan. Beruntung pembakaran piagam tidak berlanjut hingga pembakaran belasan piala yang pernah dia peroleh karena langsung diketahui orang tuanya.
“Hingga kini dia masih sangat kecewa dan tidak mau keluar kamar. Kondisi kesehatannya juga menurun karena cita-citanya melanjutkan ke SMP Negeri 1 Kajen gagal,” kata ayah Yun, Sugeng Witoto, Rabu (26/6/2019).
Putranya tak bisa masuk ke sekolah impiannya karena dampak penerapan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi. Padahal, jarak rumah ke sekolah yang diinginkan Yun juga masih dalam satu zonasi, hanya berjarak sekitar 2 kilometer (km) dari rumah. Dia terpaksa harus memilih sekolah lain, yakni sekolah swasta di SMP Muhamadiyah 1 Kajen.
Sugeng Witoto mengatakan, Yun selama ini selalu mendapat rangking satu di sekolahnya, SD Pekiringan Alit 2 Pekalongan. Piagam yang diperoleh di antaranya piagam juara I Lomba Tilawah se-Kabupaten Mocopat dan berbagai lomba lainnya. Namun baginya semua itu tidak berarti karena tetap tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SMP yang sudah dia inginkan sejak dulu.
“Saya ingin kalau anak saya ada di dalam zonasi, ya otomatis bisa masuk di zonasi itu lewat jalur prestasi. Kalau saya harus menyekolahkan anak saya ke luar zonasi yang jauh lokasinya, tentu ini menambah biaya. Tidak ada efisiensi dalam sistem pendidikan yang baru ini, tapi justru menambah beban bagi anak yang berprestasi,” katanya.
Meski memahami kekecewaan anaknya, sebagai orang tua, Sugeng mengaku tidak menyalahkan pemerintah selaku pengambil kebijakan. Namun, dia berharap kebijakan zonasi bisa ditinjau ulang dan diganti dengan kebijakan yang tidak merugikan anak maupun orang tua.
“Saya ingin sistem ini dikaji ulang dulu. Katanya kan sistem zonasi ini untuk pemerataan mutu pendidikan. Harusnya kalau mau meratakan mutu, siapkan dulu infrastrukturnya, gedungnya, gurunya, semuanya dibagusin, baru sistem penerimaan diubah,” katanya.
Demikianlah pokok bahasan Artikel ini yang dapat kami paparkan, Besar harapan kami Artikel ini dapat bermanfaat untuk kalangan banyak. Karena keterbatasan pengetahuan dan referensi, Penulis menyadari Artikel ini masih jauh dari sempurna, Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan agar Artikel ini dapat disusun menjadi lebih baik lagi dimasa yang akan datang.